Oleh : Intan Oktafiandari, S.Pd.
Bagaimana halnya dengan di Indonesia? Di Indonesia, fenomena yang sama pernah dilakukan dengan pengeluaran Surat Menteri Dalam Negeri kepada gubernur, bupati, dan walikota seluruh Indonesia Nomor 1021/SJ tanggal 16 Maret 1995 tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing. Surat itu berisi instruksi agar papan-papan nama dunia usaha dan perdagangan di seluruh Indonesia yang menggunakan bahasa asing agar diubah menjadi bahasa Indonesia. Ketika awal pemberlakukan peraturan tersebut, tampak gencar dan bersemangat usaha yang dilakukan oleh pemerintah daerah di seluruh Indonesia. Pemda DKI Jakarta, misalnya, bekerja sama dengan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa mengadakan teguran-teguran lisan dan tertulis, bahkan turun ke lapangan mendatangi perusahaan-perusahaan yang papan namanya menggunakan bahasa Inggris atau mencampuradukkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia dengan struktur bahasa Inggris. Misalnya, sebelumnya terpampang “Pondok Indah Mall”, “Ciputra Mall”, “Mestika Bank”, dan lain-lain, sekarang diubah menjadi “Mal Pondok Indah”, “Mal Ciputra”,“Bank Mestika”. Berbagai fenomena dan kenyataan ini akan semakin mendukung ke arah terjadinya suatu pertentangan (paradoks) dan arus tarik-menarik antara globalisasi dan lokalisasi.
Bisa kita lihat dalam istilah gaul, banyak bahasa Indonesia yang digunakan kurang pada tempatnya, asal bunyi (asbun) dan terkesan kedengarannya keren. Ada kalanya menggunakan Bahasa Indonesia dicampur aduk dengan istilah-istilah asing supaya lebih nampak berpendidikan tinggi dan pintar. Lain pula di kalangan pelajar, pengunaan bahasa Indonesia sebagaimana mestinya dianggap kuno dan tidak gaul. Sebut saja misalnya kata "kamu, saya" kini diubah menjadi "loe, gue". Seakan bahasa mengantar mereka pada penghargaan yang tinggi. Penggemar televisi ada baiknya mengkritisi bagaimana bahasa yang sering digunakan artis-artis kesayangan terutama di sinema-sinema elektronik (sinetron). Sinema-sinema demikian mulai dari cerita sedih, perselingkuhan, perebutan, religi dan sebagainya masih tontotan atau andalan utama kebanyakan televisi swasta di Indonesia. Namun yang sangat disayangkan, ketika televisi menjadi sumber-sumber lahirnya kekacauan bahasa anak-anak generasi saat ini, artis yang memiliki latar belakang publik figur banyak menggunakan bahasa gaul, bahasa baru yang kurang memiliki keterkaitannya. Hal ini disebabkan televisi di negeri kita lebih mengutamakan popularitas dan rating yang tinggi.
Oleh karena itu, kita selayaknya sebagai warga Negara Indonesia tetap melestarikan serta menggunakan Bahasa Indonesia. Menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar sesuai dengan KKBI maupun Ejaan Yang disempurnakan (EYD) dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa harus melupakan maupun menghilangkan Bahasa Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Web SMKMuhberbah.com menggunakan dofollow, untuk memberikan apresiasi sedikit backlink kepada yang mau sudi mampir dan berkomentar.
Namun kami tidak menerima komentar berupa spam sehingga kami memoderasi setiap komentar, dan akan kami menghapus selamanya setiap komentar dengan link hidup.
Terima kasih